OPINI – Keputusan Pemerintah Indonesia membatalkan visa atlet Israel untuk ajang Artistic Gymnastics World Championship 2025 bukanlah langkah emosional, melainkan wujud nyata dari prinsip politik luar negeri yang berakar kuat pada nilai konstitusional. Di tengah penderitaan rakyat Palestina akibat agresi Israel, sikap tegas tersebut menunjukkan bahwa Indonesia tetap berpegang pada moral kemanusiaan dan keadilan universal.
Langkah ini mempertegas posisi Indonesia sebagai negara berdaulat yang tidak mudah diintervensi oleh kepentingan luar. Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto menjelaskan bahwa pembatalan visa dilakukan atas dasar permintaan resmi Federasi Gimnastik Indonesia (FGI), yang sebelumnya menjadi penjamin kehadiran delegasi Israel. Pemerintah, katanya, menindaklanjuti permohonan tersebut sesuai mekanisme hukum keimigrasian yang berlaku. Penjelasan ini menegaskan bahwa setiap kebijakan yang diambil bukan keputusan impulsif, tetapi hasil pertimbangan matang dan prosedural.
Sikap Indonesia ini juga mendapatkan dukungan luas dari berbagai lapisan masyarakat. Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menyampaikan bahwa kehadiran delegasi dari Israel tidak diizinkan di wilayah ibu kota. Ia menilai, langkah itu diperlukan untuk menjaga stabilitas sosial dan mencegah potensi keresahan publik, terlebih di tengah meningkatnya sensitivitas global akibat konflik di Gaza. Penolakan tersebut bukan bentuk diskriminasi, melainkan tindakan preventif untuk menjaga ketertiban dan ketenangan masyarakat.
Keputusan ini juga mencerminkan kesinambungan nilai-nilai yang telah menjadi fondasi kebijakan luar negeri Indonesia sejak masa awal kemerdekaan. Sejak Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955, Indonesia menegaskan bahwa penjajahan bertentangan dengan kemanusiaan dan keadilan. Prinsip itu kini kembali diuji, dan pemerintah menunjukkan konsistensi luar biasa. Presiden Prabowo Subianto bahkan menegaskan dalam Sidang Umum PBB bahwa Indonesia tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum negara tersebut mengakui kedaulatan Palestina secara penuh.
Sikap tegas pemerintah tidak lepas dari koordinasi lintas sektor. Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menjelaskan bahwa pembatalan visa atlet Israel dilakukan setelah mendengar pandangan dari berbagai kementerian serta aspirasi masyarakat sipil. Federasi olahraga yang sebelumnya memberikan dukungan pun akhirnya menarik kembali surat sponsorship terhadap delegasi Israel karena menghormati keputusan pemerintah dan memahami konteks politik yang lebih luas.
Dalam perspektif hukum internasional, keputusan Indonesia juga tidak bertentangan dengan prinsip sportivitas. Dunia olahraga memang sering dikaitkan dengan semangat perdamaian, namun tidak berarti harus menutup mata terhadap pelanggaran kemanusiaan. Ketika kontingen dari sebuah negara secara simbolik mewakili kekuasaan yang tengah melakukan penindasan, maka penolakan menjadi bentuk perlawanan moral. Dengan demikian, Indonesia tidak melanggar etika sportivitas, justru menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi dasar setiap kompetisi internasional.
Dukungan moral terhadap keputusan ini datang dari berbagai lembaga keagamaan dan parlemen. Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara tegas menyatakan keberatan terhadap rencana kehadiran atlet Israel di Indonesia. Pandangan senada disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sukamta, yang menilai bahwa izin bagi atlet Israel akan mencederai amanat konstitusi, khususnya Pembukaan UUD 1945 yang menolak segala bentuk penjajahan. Ia menambahkan, keberpihakan terhadap Palestina bukan sekadar urusan politik, melainkan cermin dari jati diri bangsa yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan.
Penolakan ini juga menjadi pembelajaran penting dalam diplomasi publik Indonesia. Dunia internasional perlu memahami bahwa posisi Indonesia dalam isu Palestina tidak bisa dinegosiasikan. Bangsa ini berdiri teguh pada prinsip bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Karena itu, dalam situasi di mana agresi dan kekerasan masih berlangsung di Gaza, memberi ruang bagi simbol-simbol negara penjajah hanya akan melemahkan pesan moral yang telah lama dijaga.
FGI sendiri menunjukkan kedewasaan dengan mematuhi kebijakan pemerintah dan tetap memastikan bahwa ajang Artistic Gymnastics World Championship 2025 berjalan lancar tanpa kehadiran kontingen Israel. Langkah ini menunjukkan bahwa profesionalisme olahraga tidak harus bertentangan dengan nilai kebangsaan. Sebaliknya, kolaborasi antara pemerintah dan federasi menjadi bukti bahwa sportivitas sejati lahir dari integritas moral, bukan sekadar kemampuan teknis.
Ketegasan pemerintah juga memperlihatkan bahwa Indonesia bukan negara yang tunduk pada tekanan internasional. Dalam era globalisasi, banyak negara yang rela berkompromi demi menjaga citra atau kepentingan ekonomi. Namun Indonesia memilih jalur berbeda—berdiri di sisi kebenaran, tanpa mengorbankan nilai dasar bangsa. Sikap ini sekaligus mengirimkan pesan kuat kepada dunia bahwa Indonesia adalah bangsa yang berdaulat, bermartabat, dan konsisten dalam memperjuangkan hak rakyat tertindas.
Pada akhirnya, keputusan membatalkan visa atlet Israel tidak hanya relevan dalam konteks politik, tetapi juga menjadi simbol kemenangan moral bangsa. Tindakan tersebut memperlihatkan bahwa dalam hubungan internasional, Indonesia tetap memegang teguh prinsip keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas global. Di tengah dunia yang kian pragmatis, ketegasan seperti ini adalah oase moral yang menegaskan eksistensi Indonesia sebagai bangsa besar yang tidak pernah melupakan nuraninya.
Oleh : Robert Antonio (Pengamat Hubungan Internasional)