OPINI – Keputusan Pemerintah Indonesia membatalkan seluruh visa atlet senam asal Israel untuk ajang Artistic Gymnastics World Championship 2025 adalah langkah yang patut diapresiasi. Di tengah tragedi kemanusiaan yang masih berlangsung di Gaza, ketegasan ini mencerminkan konsistensi Indonesia dalam membela hak-hak rakyat Palestina, sekaligus menjaga keutuhan moral dan politik luar negeri kita.
Sikap pemerintah bukan semata-mata hasil tekanan publik, tetapi cerminan nilai konstitusional yang menolak segala bentuk penjajahan di muka bumi. Sebagaimana ditegaskan oleh Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Agus Andrianto, pembatalan visa atlet Israel dilakukan berdasarkan permintaan resmi dari Federasi Gimnastik Indonesia (FGI), selaku penjamin kehadiran delegasi asing di ajang tersebut. Pemerintah pun menindaklanjutinya secara transparan, akuntabel, dan sah menurut hukum keimigrasian.
Banyak pihak, mulai dari anggota DPR, tokoh keagamaan, hingga kepala daerah, menyuarakan penolakan terhadap kehadiran atlet Israel di Jakarta. Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak mengizinkan kehadiran delegasi dari Israel di wilayah yang dipimpinnya. Ia menyebut bahwa kehadiran atlet dari negara penjajah itu hanya akan memantik kemarahan publik dan menciptakan keresahan sosial, terutama dalam situasi global yang sedang memanas akibat konflik Gaza.
Keputusan pemerintah ini juga mengandung muatan etis dan politis yang sangat penting. Sejak awal, Indonesia tidak pernah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, sebuah sikap yang kembali ditekankan Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa baru-baru ini. Dalam pidatonya, Presiden Prabowo menegaskan bahwa Indonesia hanya akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel apabila mereka mengakui kemerdekaan Palestina secara penuh. Pernyataan ini tidak hanya menunjukkan arah politik luar negeri kita, tetapi juga menegaskan bahwa Indonesia berdiri tegak di sisi rakyat Palestina.
Langkah pembatalan visa tersebut tidak diambil secara sepihak atau tergesa-gesa. Seperti dijelaskan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, keputusan ini sudah melalui koordinasi lintas kementerian dan mempertimbangkan berbagai aspirasi dari masyarakat sipil. Ia bahkan menyampaikan bahwa federasi olahraga senam yang sebelumnya sempat mengajukan surat sponsorship untuk delegasi Israel, kini telah menarik kembali dukungan tersebut karena memahami dan menghormati sikap politik pemerintah Indonesia.
Dukungan dari masyarakat juga sangat besar terhadap keputusan ini. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai representasi suara umat Islam turut menyampaikan keberatannya atas rencana kehadiran atlet Israel. Begitu pula dengan Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sukamta, yang menilai bahwa memberikan izin kepada atlet Israel bertentangan dengan konstitusi, terutama Pasal 1 Pembukaan UUD 1945 yang menolak penjajahan dalam bentuk apapun.
Tidak hanya itu, kehadiran atlet Israel juga dinilai Sukamta dapat mencederai politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dan berpihak pada kemanusiaan. Ia menekankan pentingnya sikap tegas pemerintah agar tidak terjadi kelalaian sebagaimana yang pernah terjadi dalam ajang internasional sebelumnya. Karena itu, langkah yang diambil saat ini menjadi preseden penting agar Indonesia tidak terjebak dalam kompromi yang bertentangan dengan prinsip dasar negara.
Dalam konteks lebih luas, keputusan ini mengirimkan pesan yang kuat kepada dunia internasional bahwa Indonesia tidak akan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan demi kepentingan olahraga semata. Dunia olahraga memang kerap dijadikan ruang netral, namun ketika kehadiran sebuah kontingen jelas-jelas mewakili negara yang tengah melakukan agresi terhadap rakyat sipil, maka keberpihakan terhadap korban menjadi sebuah keharusan moral.
Artistic Gymnastics World Championship 2025 tetap akan berlangsung di Jakarta tanpa delegasi Israel, dan itu tidak mengurangi kredibilitas ajang tersebut. Justru dengan tidak mengizinkan kehadiran atlet dari negara penjajah, Indonesia menunjukkan bahwa sportifitas sejati tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Federasi Gimnastik Indonesia (FGI) pun menunjukkan sikap yang bijak dengan menarik kembali dukungan mereka terhadap kehadiran atlet Israel, sejalan dengan aspirasi rakyat Indonesia.
Konsistensi ini juga menjadi penegasan bahwa Indonesia bukan negara yang mudah ditekan oleh kepentingan luar. Dunia harus melihat bahwa tuan rumah yang baik bukan hanya mampu menyelenggarakan acara dengan baik, tetapi juga tegas menjaga marwah negara dan mendengarkan suara rakyatnya. Dalam sejarah politik luar negeri kita, keberpihakan terhadap Palestina bukan sekadar simbolik, tetapi telah menjadi bagian dari identitas dan arah perjuangan diplomatik Indonesia sejak era Soekarno hingga kini.
Oleh karena itu, keputusan pemerintah membatalkan visa atlet Israel bukanlah bentuk diskriminasi, melainkan ekspresi dari kedaulatan moral dan politik. Kita tidak menolak atlet karena kebangsaannya, tetapi karena mereka mewakili negara yang sedang melakukan kejahatan kemanusiaan. Dalam situasi seperti ini, netralitas justru menjadi bentuk ketidakadilan, dan keberpihakan menjadi sebuah keharusan.
Kita patut memberikan apresiasi sebesar-besarnya kepada pemerintah atas sikap tegas dan konsisten ini. Di tengah tekanan geopolitik dan pertimbangan kepentingan jangka pendek, Indonesia tetap memilih berdiri di sisi kemanusiaan dan kedaulatan konstitusional. Sebuah keputusan yang tidak hanya tepat, tetapi juga membanggakan.
Oleh : Samuel Tan (pengamat sosial politik)